Soal OTT Wakil Ketua DPRD Jatim, Pukat UGM: Korupsi di Berbagai Lini Jadi Masalah Serius

Jum'at, 16 Desember 2022 | 16:57 WIB
Soal OTT Wakil Ketua DPRD Jatim, Pukat UGM: Korupsi di Berbagai Lini Jadi Masalah Serius
Petugas membawa Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur 2019-2024 Sahat Tua P Simandjuntak selaku tersangka untuk dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (15/12/2022). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pusat Kajian Anti Korupsi Unversitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai, kasus dugaan suap alokasi dana hibah di Provinsi Jawa Timur (Jatim) menunjukkan bahwa perkara korupsi di Indonesia masih menginfeksi dari berbagai level. Adapun dalam kasus ini turut menyeret nama Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simandjuntak.

Peneliti Pukat UGM Yuris Rezha menyebut, dalam dua tahun ke belakang, sudah terungkap kasus korupsi di berbagai lini, yakni kementerian, penegak hukum, hingga wakil rakyat. Artinya, ini merupakan masalah yang serius.

"Artinya, korupsi di berbagai lini masih menjadi masalah serius," kata Yuris dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/12/2022).

Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam kasus ini, disebut Yuris, sebagai cerminan rentannya sektor hibah atau bantuan sosial (bansos) terhadap praktik korupsi. Menurut dia, sektor tersebut harus menjadi perhatian, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024.

Baca Juga: Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Minta Maaf Jadi Tersangka Kasus Suap: Saya Salah

"Sudah banyak studi yang menyebut anggaran hibah dan bansos menjadi sangat rawan disalahgunakan menjelang konstestasi Pemilu atau Pilkada. Khususnya di wilayah Jatim, ini perlu menjadi catatan merah karena modus korupsi melalui hibah atau bansos sangat sering terjadi," jelas dia.

Untuk itu, Yuris berharap agar publik lebih jeli dalam menerima hibah atau bansos. Kata dia, tidak ada kewajiban memberikan cash back kepada pejabat publik.

"Memang sudah tugas pejabat publik, memberikan porsi hibah atau bansos kepada organisasi atau kelompok masyarakat dengan tepat sasaran. Jangan sampai, masyakarat juga justru menjadi "partner in crime" pejabat publik untuk menyelewengkan dana hibah atau bansos tersebut," papar dia.

Sebelumnya, Sahat Tua Simanjuntak dan tiga orang lainnya resmi ditetapkan Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap dana hibah APBD Jatim tahun anggaran 2020 dan tahun anggaran 2021.

Tiga tersangka lainnya yakni Rusdi (RS) yang merupakan staf ahli Sahat Tua, Abdul Hamid (AH) Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, sekaligus Koordinator Pokmas (Kelompok Masyarakat), dan Ilham Wahyudi (IW) alias Eeng, koordinator lapangan Pokmas.

Baca Juga: Respons Partai Golkar Usai Sahat Simanjuntak Jadi Tersangka KPK: Ini Cambuk Dan Peringatan

Sahat diduga menerima suap senilai Rp 5 miliar, guna memuluskan usulan penerimaan hibah dari APBD Jawa Timur tahun 2021 dan 2022 senilai Rp 7,8 triliun. Kasus ini lantas terungkap dari hasil operasi tangkap tangan (KPK) di Kota Surabaya pada Rabu (14/12/2022) kemarin.

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak mengungkapkan, kasus ini berawal saat pemerintah Jawa Timur memutuskan merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp7,8 triliun dari anggaran 2020 dan anggaran 2021 dalam APBD. Hibah dengan nilai yang fantastis itu ditujukan kepada badan, lembaga, dan organisasi masyarakat yang ada di pemerintah provinsi Jawa Timur.

"Distribusi penyalurannya antara lain melalui kelompok masyarakat (Pokmas) untuk proyek infrastruktur hingga sampai tingkat pedesaan," kata Johanis saat menggelar konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Jakarta Selatan pada Jumat (16/12/2022) dini hari.

Johanis mengatakan, pengusulan dana hibah itu atas aspirasi dan usulan anggota DPRD Jawa Timur, termasuk Sahat yang merupakan wakil ketua dewan.

Sebagai Wakil Ketua DPRD, Sahat menawarkan diri untuk membantu memperlancar pengusulan pemberiaan dana hibah. Hanya saja, dengan catatan adanya uang pemulus atau uang muka. Abdul Hamid yang merupakan Kepala Desa Jelgung, sekaligus Koordinator Pokmas berminat dengan tawaran Sahat itu.

"Diduga ada kesepakatan antara tersangka STPS (Sahat) dengan tersangka AH (Abdul) setelah adanya pembayaran komitmen fee ijon (uang muka)," ungkap Johanis.

"Maka tersangka STPS juga mendapatkan bagian 20 persen dari nilai penyaluran dana hibah yang akan disalurkan sedangkan Tersangka AH mendapatkan bagian 10 persen," sambungnya.

Temuan KPK, berkat bantuan dari Sahat, Pokmas yang dikoordinir Abdul menerima dua kali bantuan hibah, dengan masing-masing nilai Rp40 miliar pada 2021 dan 2022.

Berhasil mendapatkan bantuan hibah dua kali dengan total Rp 80 miliar, Abdul mengingkan pada 2023 dan 2024 kelompok masyarakat yang dikelolahnya kembali mendapat kucuran dana. Dia lantas kembali menghubungi Sahat, hingga terjadi kesepakan harus menyerahkan uang muka senilai Rp2 miliar.

Pada Rabu (14/12), Abdul menarik uang tunai senilai Rp1 miliar di salah satu bank di Sampang. Uang itu kemudian diserahkan ke Ilham Wahyudi (IW) alias Eeng yang merupakan rekannya sesama koordinator pokmas. Eeng membawa uang itu ke Surabaya, lalu diserahkan ke Rusdi yang merupakan staf ahli Sahat sebagai anggota dewan.

"Setelah uang diterima, tersangka STPS (Sahat) memerintahkan tersangka RS (Rusdi) segera menukarkan uang Rp1 miliar tersebut disalah satu money changer dalam bentuk pecahan mata uang dolar Siangpura dan dolar Amerika Serikat," kata Johanis.

Dalam bentuk mata uang asing, dana senilai Rp1 miliar itu diserahkan Rusdi kepada Sahat di ruangannya, yang berada di Kantor DPRD Jawa Timur. Sementara sisa Rp1 miliar yang belum diserahkan Abdul, rencanakan diberikan pada Jumat (16/12/2022). Namun hal itu urung terjadi, karena Sahat dan Abdul beserta dua orang lainnya keburu dijaring dalam OTT KPK pada Rabu (14/12) kemarin.

Johanis menyebut dari temuan lembaganya, Sahat diduga telah menerima uang senilai Rp 5 miliar.

"Diduga dari pengurusan alokasi dana hibah untuk Pokmas, tersangka STPS (Sahat) telah menerima uang sekitar Rp5 miliar," ujarnya.

KPK kekinian masih melakukan penyidikan atas kasus tersebut, termasuk mendalami jumlah uang pasti yang diduga diambil Sahat.

Atas perbuatan Sahat dan Rusdi yang disebut sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sementara Abdul dan Eeng selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Keempat tersangka ditahan selama 20 hari kedepan terhitung sejak 15 Desember 2022 hingga 3 Januari 2021. Sahat ditahan di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur, dan Eeng ditahan di Rutan KPK, Gedung Merah Putih. Sementara Rusdi dan Abdul ditahan di Rutan KPK, Kavling C1 Gedung ACLC. Penahanan dilakukan guna memperlancar proses penyelidikan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI